Jumat, 18 Juli 2008

Ketika Lelaki Takut Jatuh Hati*1

Dari padatnya rutinitas, ada sepertiga malam yang sedikit egois padaku.
Memaksaku berpikir tentang pentingnya kawan hidup.
Bukan aku tak ingin... Tapi yang datang, lebih dulu menyodorkan keangkuhan.

Berawal pujian, terus saja memuji, tentang aku.
Lalu bercerita tentang siapa dirimu,
terlalu banyak cerita... tanpa memberi aku ruang untuk mengenalnya dengan caraku.
Seperti tak percaya bahwa aku mampu memahaminya lebih dari dia paham siapa dirinya
dan apa maunya.

Merasa paling mahir bermain logika?!

Atas nama kesibukan, orientasi hidup, rasa kecewa atau apalah...
Lelaki datang dengan sebuah perintah "jangan main hati!"

Aku marah...
bukan karena siapa yg datang pada siapa.
Tapi perintah itu seperti penolakan, pada apa?!
Toh, aku belum juga sedang berjuang untuknya.

Segala ucap, segala laku memang dari hati.
Nikmati saja, kenapa ribut menterjemahkan?

Detik ini aku suka, detik berikutnya masih tanda "?"

Rahasia hati adalah misteri untuk dinikmati,
biar aku berekspresi... aku mencintai kejujuran hati.

Kamu dengan segala maumu adalah urusanmu!
Dengan pedang logika kamu mendekat, lalu berharap untuk tidak terikat.
Baiklah, Aku hamparkan medan laga... memberimu ruang untuk bertarung,
membuatmu merasa menang sebelum berperang.

Pertengkaran...
adalah ketika logikamu menegur aku,
"jangan main hati!" begitu katamu.

Aku marah...
seharusnya kemahiranmu berlogika menyadarkan bahwa kamu tak punya hak melarangku.
Apapun, terlebihi soal hati.
aku sedang menikmati detik, itu saja!

Nanti, aku bisa saja tergila2 padamu! Nanti, jika kamu ingin!
Tapi kamu membentengi diri, untuk tidak main hati.
Harusnya logika bersifat pragmatis bukan egois,
kamu perlu belajar itu.

Niat baik ini kamu nodai dengan keangkuhan,
maka bijak bukan bila aku anggap ini sebuah permainan.
Aku memang terlanjur bermain hati,
tapi aku tahu kapan harus berhenti.

Aku sebagai aku...
membuatmu jatuh hati, akhirnya!
Lagi-lagi dengan pujian, kamu tawarkan sebuah ikatan.

"aku berbeda dengan wanita-wanitamu...", begitu katamu.

Aku...
bermain logika setelah hati berhenti berjuang.
Terlanjur aku nikmati ini sebagai permainan.
bagaimana mungkin aku ingkar pada komitmen pribadiku?

Butuh waktu untuk menCINTA.
Tapi aku main hati karena merasa mengenalmu,
kamu main hati karena menatap wujudku.
Dangkal!

Kamu...
hati-hati pada kekuatan hati.
Pedang logikamu toh patah juga oleh diamku.
Mencari yang telah hilang?

Terimakasih sudah menitipkan hati untukku... tapi maaf, terlambat!

(disunting dari prosa lama ku 18 Juli '08)




5 komentar:

Wied's mengatakan...

Hi gie.... kata2nya bagus banget.... tapi kayaknya beneran n dalem banget gie....
tapi layoutnya kayaknya perlu dipermanis deh gie.... biar ga plain..

rizki mengatakan...

Puisinya bagus.. punya bakat juga buat puisi, tapi kata-katanya terlalu sulit untuk di pahami hehehe.. untuk gw yg tidak mengeri puisi hohohohoho.. over all blognya menarik, apalagi kalo segment postingnya lebih banyak dan tidak bersegmented hehehe just advise, gw suka kok dengan blognya...

Cyber (Dito) mengatakan...

Hi Gie..... nice puisi..... untuk blog hmmmm..... lumayan tapi klu bisa di per indah lagi supaya lebih menarik

so...... terus berkarya n jgn pernah berhenti ok........

Anonim mengatakan...

Nice BLOGs
I know 4 who is it

Anonim mengatakan...

Nice BLOGs
I know 4 who is it