Jumat, 15 Agustus 2008

DIANTARA (AKU SEMPURNA BAGIMU)

Nikmati sejenak tentang ini..

Berbaring diantara dua guling...
besar atau kecil, bersih atau kotor, keras atau empuk, di ranjang atau di lantai, gelap atau terang.


Duduk diantara dua batu karang...
besar atau kecil, terang atau gelap, sempit atau lebar, berair atau kering.


Berdiri diantara dua pohon...
besar atau kecil, rindang atau gersang, malam atau siang.


Hidup diantara dua cinta...
sebagai orang pertama atau kedua, sebagai pelaku utama atau korban, untuk saat ini atau masa depan, permainan atau jalan hidup.


Ketika itu terjadi,
kita merasa mampu bertahan asal satu dua hal termaklumi. Mungkin saja kita harus berbaring di antara dua guling kecil yang kotor, bau, keras dan tanpa sedikitpun cahaya dalam ruang, tak mengapa, aku mampu asalkan masih beralas ranjang.


Terkadang manusia lupa bersyukur pada kenyataan hidup. Merasa punya hak untuk memilih lalu lupa diri berharap segala kondisi harus seperti apa yang dimau. Namun ketika kenyataan terburuk di depan mata dan mulai merasa tak kuasa bertahan, sontak mengeluh bahwa hidup tidak adil.


Sekarang pikirkan sejenak tentang ini...


Berbaring diantara dua guling, duduk diantara dua karang, berdiri diantara dua pohon, hidup diantara dua cinta, seburuk apapun kenyataan hidup yang nampak di depan mata, kenapa kita jadi begitu kompromi hanya karena satu hal?

Aku mau... aku mampu... asal TIDAK SENDIRI. Aku berjuang dan akan bertahan asal KAU disampingku.



Tolong renungkan...


Hidup itu dua sisi, kita layak memilih, layak berharap dan layak mengeluh. Kenapa kita jadi tak punya mau dan tak lagi mengeluh hanya karena seseorang? Kita wajib bersyukur pada hidup dan pada Sang pemberi hidup. Bukan pada seseorang, siapapun dia... Berhenti menggantungkan hidupmu pada manusia, sesempurna apapun dia!

Tanpa kita sadari... SESEORANG itu yang membuatmu lupa diri!Lupa memilih, lupa berharap dan lupa mengeluh. Kepasrahan semacam itu yang membuat kita jadi sempurna di matanya! Tapi tidak di mata TUHAN.

Jumat, 18 Juli 2008

Mimpi Basi

Seorang anak, meski hanya dengan merengek... ia ingin sesuatu
Nenek tua, meski ucap kembali terbata... ia ingin sesuatu
Pemimpin negara, meski bertelunjuk sakti... ia masih ingin sesuatu

Siapapun, apapun dan bagaimanapun... pasti punya mimpi,
bahkan untuk yang telah terjadi, kadang kita berandai itu tak terjadi.

Mimpi...
adalah yang sebenar-benarnya tentang hidup.
Jangan lanjutkan hidup jika kau tak punya mimpi.

Cukup?? tentu tidak!

Jika kau petualang sejati,
tantangan adalah rohmu.
Jangan bicara muluk atau mati suri hanya pada niat!

Berdiri di lantai sebuah mall,
menatap harap untuk sampai di lantai teratas... "ada sosok idaman disana", katamu!
Ia yang selama ini kau kenal tapi tak juga termiliki.

Bicara muluk tentang sosok idaman,
tapi kaki masih saja berpijak di lantai yang sama... mati suri!
Mimpi basi jika kau tak juga melangkah,
hanya 1 langkah dan biarkan mesin eskalator yang bekerja buatmu,
mengantarmu sampai di lantai yang sama dengannya.

Jelas ini bukan soal berapa langkah kau mesti mengejar mimpi.
Yang lebih melelahkan adalah karna kau terlalu lama berpikir,
belum soal pengorbanan, toh kau belum juga berjuang.

Hanya 1 langkah... sulit atau terlalu mahal dibanding harga dirimu?
Rohmu mati suri pada mimpi basi!

Renungkan...
berapa banyak mimpi yang telah kau perjuangkan,
mungkin tidak lebih banyak dari mimpi yang terbingkai,
dan perlahan terganti oleh mimpi yang lain.

Sayang sekali,
kau sudah tau arti hidup.
Tapi tak pernah mengerti membuat hidupmu lebih berarti.
Kalau kau tak berani sendiri... ada aku yang akan membantumu mengawali.

Hanya 1 langkah...

aku membantumu untuk sebuah awal, hanya 1 langkah!

Ketika Lelaki Takut Jatuh Hati*1

Dari padatnya rutinitas, ada sepertiga malam yang sedikit egois padaku.
Memaksaku berpikir tentang pentingnya kawan hidup.
Bukan aku tak ingin... Tapi yang datang, lebih dulu menyodorkan keangkuhan.

Berawal pujian, terus saja memuji, tentang aku.
Lalu bercerita tentang siapa dirimu,
terlalu banyak cerita... tanpa memberi aku ruang untuk mengenalnya dengan caraku.
Seperti tak percaya bahwa aku mampu memahaminya lebih dari dia paham siapa dirinya
dan apa maunya.

Merasa paling mahir bermain logika?!

Atas nama kesibukan, orientasi hidup, rasa kecewa atau apalah...
Lelaki datang dengan sebuah perintah "jangan main hati!"

Aku marah...
bukan karena siapa yg datang pada siapa.
Tapi perintah itu seperti penolakan, pada apa?!
Toh, aku belum juga sedang berjuang untuknya.

Segala ucap, segala laku memang dari hati.
Nikmati saja, kenapa ribut menterjemahkan?

Detik ini aku suka, detik berikutnya masih tanda "?"

Rahasia hati adalah misteri untuk dinikmati,
biar aku berekspresi... aku mencintai kejujuran hati.

Kamu dengan segala maumu adalah urusanmu!
Dengan pedang logika kamu mendekat, lalu berharap untuk tidak terikat.
Baiklah, Aku hamparkan medan laga... memberimu ruang untuk bertarung,
membuatmu merasa menang sebelum berperang.

Pertengkaran...
adalah ketika logikamu menegur aku,
"jangan main hati!" begitu katamu.

Aku marah...
seharusnya kemahiranmu berlogika menyadarkan bahwa kamu tak punya hak melarangku.
Apapun, terlebihi soal hati.
aku sedang menikmati detik, itu saja!

Nanti, aku bisa saja tergila2 padamu! Nanti, jika kamu ingin!
Tapi kamu membentengi diri, untuk tidak main hati.
Harusnya logika bersifat pragmatis bukan egois,
kamu perlu belajar itu.

Niat baik ini kamu nodai dengan keangkuhan,
maka bijak bukan bila aku anggap ini sebuah permainan.
Aku memang terlanjur bermain hati,
tapi aku tahu kapan harus berhenti.

Aku sebagai aku...
membuatmu jatuh hati, akhirnya!
Lagi-lagi dengan pujian, kamu tawarkan sebuah ikatan.

"aku berbeda dengan wanita-wanitamu...", begitu katamu.

Aku...
bermain logika setelah hati berhenti berjuang.
Terlanjur aku nikmati ini sebagai permainan.
bagaimana mungkin aku ingkar pada komitmen pribadiku?

Butuh waktu untuk menCINTA.
Tapi aku main hati karena merasa mengenalmu,
kamu main hati karena menatap wujudku.
Dangkal!

Kamu...
hati-hati pada kekuatan hati.
Pedang logikamu toh patah juga oleh diamku.
Mencari yang telah hilang?

Terimakasih sudah menitipkan hati untukku... tapi maaf, terlambat!

(disunting dari prosa lama ku 18 Juli '08)